tulisan ke dua gw dan untuk punishment LAGI

Nurul Purwaningdiah
Wakil Kepala Biro Komunikasi dan Informasi
BEM FEUI 2010
Derita Anak Pertama
Hai semua, ini kedua kalinya saya menulis dan lagi-lagi karena punishment bem. Jadi karena telat pleno di hukum buat tulisan dan di kumpulin tanggal x bulan x. Sayangnya saya telat mengumpulkan pada tanggal x bulan x itu. Ternyata kalau telat mengumpulkan ada punismentnya juga yaitu disuruh buat double. Ya sudah lah.. Turuti saja sistem yang telah dibuat. Sesuai dengan budaya bem respect to time, system, and people. *walaupun respect to timenya masih susah banget gw penuhi*
Walaupun gagal *lagi* dalam memenuhi ketepatan waktu tapi tulisan saya kali ini tidak berjudulkan “Kegagalan” lagi tapi “Derita Anak Pertama”. Seperti kita ketahui bersama harapan orang tua terhadap anak pertama adalah menjadi anak yang wise, banyak pengetahuan, bisa membimbing adiknya ke jalan yang benar, pengalah, dan segala macam yang identik dengan yang baik-baik. Takdir mengatakan kalau saya harus jadi anak pertama dan mengemban seluruh harapan-harapan itu. Ya mau di apakan lagi, jalani saja takdir ini.
Bila teringat waktu muda dulu, kalau saya memiliki sesuatu yang baru adik saya pasti bilang ke ibu “Mbak Nurul punya itu! Masa aku gak punya!”. *padahal gw cenderung cuek kalo adek gw punya sesuatu yang baru* Belum tentu benda baru itu dibelikan Ibu, sering saya membeli sesuatu dengan tabungan saya sendiri *dulu gw pandai menabung tapi setelah mengetahui dunia itu indah, berhemat jadi sulit*. Semenjak itu saya harus berhati-hati kalau membeli sasuatu jangan sampai adik tahu, atau kalau bisa beli 2 barang yang sama biar dia gak iri.
Selain itu waktu adik saya mencakar saya, saya membalas kembali dengan cakaran yang kurang lebih sama biar aci *aci itu kata lain dari impas di jaman saya muda dulu*. Tapi ibu memarahi saya “Mbak kamu itu udah lebih gede! Kalo adek nyakar kamu jangan kamu bales dong! Kasih contoh yang baik!” Secara saya dan adik saya cuma beda setahun, teman bermainnya juga sama ya saya merasa kalau saya dan dia tidak ada perbedaan umur *bahkan sekarang temen seangkatan gw di kampus ada yang lahir tahun 1992 yang notabene lebih muda dari adek gw*. Saya juga merasa kalau saya masih kecil sehingga berhak untuk sama nakalnya seperti adik saya. Waktu itu saya merasa masa kecil saya direnggut untuk menjadi dewasa lebih awal dalam bersikap. *agak lebay mungkin*
Waktu itu om menginap di rumah. Saya berkomplot dengan adik saya untuk memberikan saus di baju-baju milik om saya. Setelah itu om saya murka dan berkata “Kalian nakal banget sih! Pasti KAKAKNYA nih biangnya! Kenapa adeknya diajak-ajak kaya gini?” Oh God.. Padahal waktu itu kalau dipikir-pikir adik saya bisa menolak. Kenapa saya yang harus disalahkan atas keikut sertaan adik saya dalam misi ini. *ya mungkin gw salah karena gw ngajak dia berkomplot*
Waktu saya bermain selang air di belakang rumah dan menyemprotkannya ke rumah tetangga. Adik saya tiba-tiba melihat dan turut serta. Akhirnya kami dimarahi seisi rumah. “Ibunya Airin marah-marah tau gak! Baju yang hampir kering jadi basah lagi!” Ternyata air yang kami semprotkan tepat membasahi rentengan jemuran rumah tetangga. Dan kata kata yang paling paling menyebalkan itupun keluar “Kamu sih mbak main yang enggak-enggak! Adeknya jadi ikutan kan!”. Ibu, ayah, tolong ya. Waktu itu saya tidak menyuruhnya untuk ikut serta. Dia sendiri yang memiliki inisiatif untuk mengikuti apa yang saya lakukan.
Sekarang adik saya kuliah di jurusan akuntansi. Dan mengapa dia kuliah di jurusan akuntansi? Ya. Karena adik saya meniru jurusan yang saya ambil. Oh bayangkan bila waktu itu saya memilih untuk menikah setelah lulus sma *calon aja belom punya, mau nikah sama siapa?* apakah dia akan meniru keputusan saya? Untung saja saya memilih keputusan yang mendekati benar sehingga dia tidak terjerumus di lubang nista *apalah itu nista? Entahlah yang penting buruk maksudnya*.
Sering saya disuruh Ibu untuk mengajarkan pelajaran. Ibu bilang “Kamu kan udah pernah belajar yang kaya adek pelajari, Ajarin gih.” Padahal saya dulu belajar sendiri dan tidak ada yang mengajari terus dengan enaknya adek di ajarin tanpa harus susah payah baca buku dulu. Enak sekali hidupnya.
Sebenarnya masih banyak peristiwa lain dalam masa muda saya yang dapat membuat anda tahu apa saja derita anak pertama. Disalahkan atas perbuatan adik yang meniru perbuatan nakal kita. Disalahkan karena mambalas perbuatan buruk adek. Kehilangan masa-masa nakal yang membahgyakan waktu kecil padahal umur kami hanya berbeda 1 tahun. Tidak boleh membuat adik iri atas apa yang saya miliki. *Ibarat adek gw 3 tahun umur gw 4 tahun kebayanglah anak segitu pasti masih sama2 nakalnya.. Anak 4 tahun di suruh wise gimana caranya? kecuali kalo umurnya beda 3-4 tahun..*
Tapi ingat, semua peristiwa ada hikmah yang Allah ingin ajarkan kepada kita. Saya jadi tahu lebih awal apa itu mengalah dan berbagi, tidak boleh egois, lebih awal tahu bagaiana caranya memimpin dari kecil *walau yang dipimpin Cuma 1 orang*, karena tau menjadi contoh maka saya jadi lebih hati-hati dalam mengambil keputusan-keputusan yang memberi pengaruh besar untuk masa depan, dan tahu bagaimana cara mengajarkan atau berbagi ilmu yang saya miliki. *Tapi kalo dipikir-pikir kasihan dong ya para adik. Kesempatan mereka mengalah dirumah tidak secepat kakaknya, mereka cenderung gak punya kesempatan untuk menjadi contoh di rumah, gak punya kesempatan untuk jadi pemimpin di rumah, gak punya kesempatan untuk meraakan puas karena mengerti setelah susah payah mencari sendiri. Kayanya gwnya aja yang sok tahu.. hehe.. maaf ya kalau ada yang tersinggung atau tidak sependapat... karena ini yang saya alami*